Sudah agak larut di malam hari,.. Secara posisi, Museum Fatahilah emang udah dekeeeet banget, udah kelihatan.. walau gak persis di depan mata. Dia ngajakin liat museum Fatahilah dan wilayah kota tua Jakarta.. Aku berpikir 100 kali...
Antara kami dan Museum Fatahillah ada jalan gelap tanpa lampu yang harus dilalui. dan sekali lagi, saat itu larut. Larut. Larut malam di kota. Bukan kombinasi yg aman untuk anak-selatan-yang-gak-kenal-daerah-kota.. Jadi nggak. Aku. Nggak Mau.
Sampai ada tiga orang (2 perempuan dan 1 pria), semacam 'Pecinta-museum', berjalan ke arah sana.. melalui jalan-gelap-tanpa-lampu, bahkan tanpa berpikir 2 atau 3 kali!!.. Seakan malam itu matahari bersinar terang!
Saat melihat mereka, Dia kembali ngajak untuk liat Museum Fatahillah
"Lihat, gak papa, kan?!"...."yuuukkk"..
Entah karena malas berargumen, atau karena sikap 'pencinta-museum' yang membuat seakan-akan jalan-gelap-tanpa-lampu itu adalah jalan teraman. Di Jakarta kota. Di larut malam.
jalanlah ke sana… dan okay, Museum Fatahilah dan wilayah kota tua itu memang senilai dengan 3 langkah kaki untuk mencapainya. Megah. Dramatis. Historis. Romantis...
Berbeda dengan Jakarta yg Modern. Compact. Ekonomis.
Setelah puas melihat-lihat berbagai bangunan di kota tua, kami memutuskan untuk pulang..
Fiuuhh.. tampaknya memang tidak ada yang perlu dikuatirkan.
Hingga seorang pria aneh dengan mobil forsa merah, yang entah kenapa, memundurkan Forsa-merahnya untuk mendekati kami dan berpura-pura *setidaknya aku menduga pria-aneh itu sekedar berpura-pura* menanyakan arah, Aku diam. Dia yang melayani dengan jawaban-jawaban..
+“mau ke Gerbang besar kmana ya?”
: “oo gak tau”
+”Saya udah muter-muter dari tadi, gak ketemu-ketemu”
:”oo iyaa gak tau, mas”
+”emang bukan orang sini ya? Dari mana asalnya?” *lhooo kok jd ngajak ngobrol?*
-pria-aneh turun dari mobilnya- Knapa?!!-
*aku mengerutkan kening*
Dengan kening berkerut, aku mengukur, tinggi pria itu mungkin sekitar 180-185cm, dengan pakaian… celana jeans pudar yang pucat karena keseringan dicuci,.. mungkin? Jeans itu nyaris berwarna putih, tapi kotor dengan noda debu atau tanah, koreksi, jarang dicuci!.. dan ada robekkan di lutut gaya awal 90-an.
: “…
+”…. kmana?”
:”enggak…
+”….
Pembicaraan mereka gak jelas terdengar, mungkin karena kepalaku sudah sibuk dengan pikiran-pikiran paranoia-nya..
menganalisa situasi..
bagaimana kalau pria-aneh-dengan-mobil-forsa-merah itu nekat?
kemungkinan terburuk?...
Gimana kalo Dia kena ilmu-aneh seperti sirep atau gendam
*akibat kebanyakan baca email forward-an dan ngerumpiin 'Urban legend' Jakarta*
cara keluar yg paling baik dari situasi ini?
cara mengatasi jika situasi menjadi lebih buruk?..
aku mulai menghitung 'Senjata'-ku:
1. Mengenakan ROK!
menurut polling yg pernah aku baca di majalah, dengan sampling 1000 Pria-aneh, kebanyakan
mengatakan wanita dengan celana panjang terlihat lebih kuat dan bisa melawan. biasanya mereka
enggan menyerang wanita bercelana panjang…
2. Tanpa payung
berdasarkan polling yg sama, pria-aneh berpendapat, payung bisa digunakan korban sebagai senjata
perlawanan, terlalu riskan mengincar wanita berpayung.
3. Hi-heels.
Berdasarkan prinsip lawan atau lari. Hi-heels dan lari tidak saling menunjang.
4. Tanpa peluit
Karena peluit berguna untuk menarik perhatian org banyak dan biasanya pria-aneh tak ingin menarik perhatian. aku harus
ingat untuk beli peluit!
5. Vintage bag, terbuat dari rajutan..
Jangankan dipakai sebagai senjata, bahkan segala gerakan gegabah dan hentakan yang tak semestinya
bisa membuat tas ini hancur dan mengurai berai..
Ok, situasi tak menguntungkan untuk aku,..Tanpa senjata yg pantas untuk melawan. Lawan bukan tandingan seimbang.. jadi,..Aku mematung.. Di belakang.. Mencoba tidak mencolok ataupun menarik perhatian pria-aneh.. Dan berharap entah bagaimana pria-aneh itu pergi ...
Akhirnya setelah beberapa kali dia mencoba mengacuhkan pria-aneh itu, dan tidak menghiraukannya, Dia memberi isyarat untuk berjalan kembali..…
Bernapas lega ... Setidaknya tidak ada yang terjadi..
Tiba-tiba,
:"eh, tunggu,… balik aja yuu, lewat sana ajah".. Dia bilang
-“apa?.. knapa..ehhh?”
'Lewat-sana-aja' berarti melewati pria-aneh-dengan-mobil-forsa-merah lagi ("0")
Tapi gak cukup waktu untuk berpikir... karena tiba2 Dia sudah berbalik arah untuk lewat-sana-aja.
Waktu tersisa hanya cukup untuk berdoa.. dan tentu saja pria-aneh-dengan-mobil-forsa-merah itu ingin berinteraksi lagi...
+”eh, mau kemana?”
+”bareng aja..” –dengan isyarat kearah mobil forsa merahnya.
Kami berpura-pura tidak mendengar dan aku meng-akselerasi kecepatan,.. dari berpura-pura berjalan tenang sekarang berjalan secepat mungkin dalam panik tanpa terlihat panik...
Setelah aku merasa berada dalam jarak yg cukup aman, aku melihat kebelakang untuk mengetahui apakah pria-aneh itu mengikuti kami.. tapi ditegur,
:”jangan lihat ke belakang”
:”gak apa-apa”
-“tapi harus tau diikutin apa enggak..”
:”enggak. udah. gak papa...” ... “loe gak papa?”
-“gak papa”
:”bener?”
-*angguk-angguk*
:”bener?”
yang terpikir cuma, seharusnya aku mendengarkan firasat pertama untuk tidak melalui jalan-gelap-tanpa-lampu. Karena di sini, bukan bagian dari Jakarta yang aku kenal..
1 comment:
yah aku maklum memang gitu cara pikir cancer shio monyat sama seperti diriku. .. selalu menganalisa dari hal yang terburuk (mgkn adopsi dari sifat shionya - monyet termasuk binatang yg agak curigaan). tapi setelah kita pahami ada juga untungnya, mis dlm hal dagang/bisnis agak lebih susah di tipu.Krn lebih hati hati (assembly dari kepiting yng bergerak penuh kehati-hatian).
Post a Comment